Minggu, 20 Mei 2012

[Saksi Fiksi] Pria dari Langit




Seorang pria terjatuh dari langit mendung siang itu. Tepatnya pukul 14.05 menurut operator 108. Telanjang bulat, tanpa sehelai sandang melekat. Bahkan pikirannya kosong tanpa pretensi secuil keringat. Dia mungkin hampir setinggi 170 cm. Agak gempal tapi atletis. Rambutnya seperak medali juara dua Olimpiade. Tapi dia bukan Terminator, apalagi Mr. Bean. Kumisnya yang tidak terlalu tebal menyimpan berhelai-helai misteri. Apa yang dia lakukan di sini?
         Pertanyaan itu muncul dari benak Akid, pemuda yang tanpa sengaja menyaksikan kejadian fenomenal itu. Di tengah perjalanannya menuju rumah, Akid terkejut bukan main ketika ada kegaduhan kecil dari jarak hanya 10 meter di depannya. Dengan wajah tidak percaya, Akid memperhatikan gerak-gerik pria misterius tersebut. Walaupun terjatuh dari langit, dia tidak tampak kesakitan sama sekali. Kulitnya yang bugil sawo matang juga tidak terluka. Lengkap sudah keanehan yang disaksikan Akid: seorang pria telanjang terjatuh dari langit tanpa merasa sakit dan terluka sedikit pun.
        “Hey, kamu.” Belum sempat Akid menyimpulkan apa-apa, pria itu sudah menyadari kehadirannya. Akid pun terkesiap mendengar sapaannya. Suaranya standar dan normal layaknya manusia. Tidak ada kesan dewa atau mahluk gaib.
          “Kamu mau tolong saya?”
          “Ya… A-apa yang bisa saya bantu?”
          “Bisa bantu saya kembali ke rumah?”
          “Hmm… Di mana rumah Anda tepatnya?”
          “Tidak jauh dari sini.”
          “Baiklah. Apa yang bisa saya lakukan?”
          “Pertama, saya butuh pakaian.”
       Saat masih terbengong, ponsel Akid berbunyi. Pesan pendek dari pacarnya: Kamu di mana? Kenapa telpon ga diangkat-angkat?

*****


Pikiran Akid terus berkecamuk. Dua sisi dalam dirinya sedang berkelahi mendebatkan keputusan yang bijak. Di satu sisi, Akid ingin rasanya kabur. Dengan alasan ingin mengambilkan baju di rumahnya, dia bisa saja langsung minggat. Tapi di sisi lain, Akid ingin sekali menolong pria itu. Ada sesuatu yang mendorong Akid untuk mengantarkannya pulang. Pria itu terlalu aneh untuk dicampakkan, sekaligus terlalu mencurigakan untuk ditemani. Siapa dia? Atau lebih tepatnya, APA dia?
          Setelah pertempuran hati yang absurd, akhirnya Akid buru-buru mengambil pakaian di rumah dan kembali ke tempat tadi. Meminjamkannya kaos, celana dalam, celana pendek, dan sendal jepit. Akid memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang orang itu. Toh tidak ada satu orang pun yang akan percaya bila dia melaporkan kejadian ini.
           “Hmm, terlalu kecil ya?”
       “Ya sedikit. Tapi tidak apa-apa lah. Daripada saya dituduh amoral karena mempertontonkan aurat.”
          “Siapa nama Anda?”, Akid tidak mampu menahan rasa penasarannya.
          “Panggil saya… Isakayoga.” Akid mengernyitkan dahi.
          “Kenapa? Aneh ya?”, tanya pria yang ternyata bernama Isakayoga itu.
          “Hmm, tidak juga. Hanya sedikit… tidak lazim.”
          “Itu artinya anak Tuhan,” jawabnya santai.
      Akid mengangguk tanpa mampu menghilangkan rasa ragunya. Isakayoga pun melanjutkan perjalanannya, “yuk, kita mulai bergerak. Waktu saya tidak banyak di sini.”
          “Lalu, kita ke mana?”
          “Ada rekomendasi tempat makan yang enak? Saya lapar.”
      Akid kembali terbengong dengan permintaannya. Dia pikir Isakayoga akan memohon untuk diantarkan ke suatu bukit misterius, atau mengajaknya berburu harta karun di hutan belantara, atau bahkan membunuh naga antagonis di sebuah pulau antah berantah. Tidak ada yang spektakuler dari pria misterius ini. Dia minta MAKAN. Di saat bersamaan, ponselnya kembali berbunyi. Pesan pendek dari bosnya: Telpon kamu ga diangkat-angkat? Jangan lupa meeting sama klien jam 9 pagi mau ngomongin pre-production. JANGAN TELAT. Akid mengantongi ponselnya kembali.
       Mereka berdua langsung berjalan keluar dari gang sempit itu. Perlahan Akid menyusuri jalan diikuti Isakayoga di belakangnya. Tanpa pikir panjang, Akid menuju restoran favoritnya, Wong Nyojo. Rumah makan yang menjajakan kuliner khas Yogyakarta.
       Seperti sudah mengenal baik tempat itu, Isakayoga langsung memesan gudeg telor. Lengkap dengan kepala ayam dan krecek. Tidak pedas. Akid hanya memesan es teh manis. Rasa laparnya lenyap dilahap rasa penasaran. Mereka berdua memilih tempat duduk yang agak memojok. Isakayoga menyantap ala barbar. Seperti tidak pernah bertemu makanan berminggu-minggu, gudeg itu habis dalam durasi kurang dari 5 menit.
          Setelah usai makan, Isakayoga mulai berdialog dengan Akid yang dari tadi hanya melongo.
         “Jangan takut, nak. Jangan pernah takut gagal.”
         “Hah?”
        “Jadilah orang yang berani. Jangan pernah terjebak dalam area di mana semua kondisi aman dan terkendali. Keluarlah dari barikademu, ikutlah berperang dengan dunia, taklukkan peradaban yang semakin menjijikkan ini.”
         “M-maksud Anda?”
         Isakayoga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
        “Maksud saya begini… Kamu punya semangat dan ketertarikan yang tinggi pada hidup ini, Kid. Jangan biarkan hidupmu hanya menjadi panggung yang sudah didekorasi oleh panitia. Lebih baik kamu robohkan panggung itu, dan mulailah menulis sandiwara kamu sendiri. Semua orang berhak menjadi sutradara, bukan hanya aktor.”
         “Saya…tidak mengerti.”
     “Kamu akan mengerti suatu hari. Yang terpenting adalah kamu menjadi orang yang berani. Tinggalkan tempat perlindunganmu. Kejar apa yang sesungguhnya kamu ingin. Risiko adalah takdir, nak. Dan kamu tidak bisa memberontak dari takdir.”
         “Hmm… Baiklah… Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
         “Enjoy your life while it lasts. Dan… selamat ulang tahun!”
Selamat ulang tahun…
Selamat ulang tahun…
Selamat ulang tahun…
         “SELAMAT ULANG TAHUN!!”
     Akid terbangun dari tidur nyenyak. Nyanyian itu mengejutkannya. Setengah sadar, Akid memperhatikan orang di sekeliling kamarnya. Ayah-Ibunya, pacarnya, dan teman-temannya. Mereka bernyanyi selamat ulang tahun kepada Akid sambil membawakan kue yang ditaburi lilin.

*****

Sebenarnya tidak begitu banyak yang datang hari itu. Untuk orang “sekelas” Akid, pemakamannya bisa dibilang bukan perhelatan yang terlalu heboh. Hanya orang-orang terdekat dan benar-benar empati saja yang hadir hari itu. Sesuai dengan keinginannya.
        Takdir Akid datang malam sebelumnya. Serangan jantung mendadak, atau cardiac arrest menurut ahli kesehatan, menjemputnya untuk kembali ke rumah sesungguhnya di umur yang tidak terlalu senja. Dia masih tergolong muda bagi orang tua, tapi sudah cukup tua bagi anak muda. Sesaat setelah meninggal, Akid tiba dalam suatu ruangan yang tidak terlalu besar, tapi entah kenapa seperti memiliki ketidakterbatasan ruang.
      Di situ dia dihampiri sesosok misterius. Dia ada dan berwujud, tapi mata manusia tak mampu mendefinisikan dirinya. Akid pun mungkin tidak bisa memberikan deskripsi yang komprehensif. Tanpa alasan yang jelas, orang itu mendekati Akid yang sedang terkesima dengan suasana di sekelilingnya.
         “Selamat datang. Bagaimana hidup? Asyik?”
         “…. Saya… mati ya?”
        “Ya bisa dibilang begitu.”
     Akid terdiam. Cukup lama hingga membuat sang lawan bicara bosan dan mengulang pertanyaannya.
        “Bagaimana hidup?”
        “H-hidup… Ya, menarik… Tapi, entah kenapa… “, Akid terdiam.
        “Kenapa?”
       “…seperti ada yang belum usai.”
        “Manusia memang diciptakan untuk tidak pernah menuntaskan. Sekali pun kalian bisa hidup 1000 tahun lagi, kalian tidak akan bisa menemukan garis akhir.”
      “Tapi… saya merasa hidup saya hanya sesuatu yang terlewatkan. Sesuatu yang terlupakan. Sesuatu yang ada untuk mengisi waktu, bukan sesuatu untuk diisi. Saya…”
         “Takut.”
        “Takut?”
        “Ya, kamu takut. Kamu menghabiskan puluhan tahun dalam hidup dengan rasa takut. Kamu terus bersembunyi di balik barikade zona amanmu. Kamu tidak ikut berperang melawan dunia. Kamu tidak menaklukkan peradaban. Kamu hanya aktor dari sebuah drama yang sudah berlangsung setengah babak. Kamu tidak berani menuliskan ceritamu sendiri. Kamu… tidak hidup.”
        Akid terdiam, dia merasa terpukul dengan jawabannya tegasnya. Dia merasa omongan itu sangat benar. Dia merasa penyesalan sedang menusuk dadanya. Perih. Masa lalu memang mampu melahirkan pilu yang berlipat-lipat. Di tengah kesedihan, si manusia misterius tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang kurang biasa.
         “Kamu percaya multi-semesta?”
          “Multi-semesta?”
         “Ya, semesta paralel, Large Hadron Collidge, dimensi lain, partikel Tuhan, teori big bang, dan segala omong kosong yang kalian sebut sains itu. Kamu percaya?”
         “… Ya… sedikit…”
     “Bila kamu mendapatkan kesempatan kedua untuk mengubah nasibmu, apakah kamu akan mengambilnya?”
          Akid tertegun. ‘Kesempatan kedua’ tedengar menggiurkan.
          “Lalu, apa yang akan terjadi?”
          “Ya hidup kamu akan berubah di semesta lainnya. Versi ‘kamu’ yang baru akan mendapatkan keuntungan dari ‘kesempatan kedua’ yang kamu ambil. ‘Kamu’ di dimensi waktu yang berbeda akan mengubah nasib. Bagaimana tertarik?”
          Akid berpikir keras. Mencoba menimbang-nimbang jawaban yang tepat, yang tidak akan disesali. Tapi kemudian dia tersadar kesalahan utamanya dalam hidup: menimbang suatu keputusan hingga akhirnya dia tidak berani mengambil tindakan. Akid ingat betapa dia lebih menyesal karena tidak melakukan apa-apa daripada karena melakukan kesalahan.
          “Oke, saya mau. Apa yang harus saya lakukan?”
          “Baiklah. Kamu akan dikirim ke masa lalu. Kamu akan bertemu dengan dirimu yang masih muda, yang masih memiliki semangat perubahan. Kamu akan berbicara dengan ‘dirimu’ di masa lalu, agar dia mau berubah. Kapan tepatnya kamu mau dikirim?”
          “Hmm, mungkin saat umur saya 23. Ketika itu saya sedang memiliki pekerjaan yang saya benci, dan pacar yang tidak membuat saya maju.”
          “Baiklah. Sebagai manusia baru, kamu akan saya namakan…. Isakayoga.”

14/5/12
Untuk Isakayoga Cakra Hudasmara, manusia dengan amarah misterius.